Senin, 30 April 2012

Penantian 25 Tahun Konser Dream Theater di Jakarta


Jakarta - Butuh waktu hampir 25 tahun bagi band progressive metal Dream Theater untuk singgah ke Jakarta sejak merilis album pertama mereka. Penampilan mereka selama kurang lebih dua jam di Mata Elang Indoor Stadium, Pantai Karnaval, Ancol, Sabtu (21/4/2012) malam seolah memuaskan dahaga para penggemar fanatiknya.

Sejak sore, ribuan penggemar yang didominasi usia mapan sudah mulai memadati area Pantai Karnaval Ancol. Kebanyakan dari mereka kompak berpakaian hitam lengkap dengan atribut ala band idolanya itu.

Suasana sempat sedikit memanas jelang konser dimulai karena gerbang masuk arena konser tak kunjung dibuka, sementara ribuan penonton semakin menumpuk. Akhirnya, sekitar pukul 21.00 WIB James LaBrie cs tampak di atas panggung memegang alat musiknya masing-masing.

'Bridges in the Sky' langsung mengalun. Mata Elang Indoor Stadium yang berkapasitas 10 ribu penonton pun sontak bergemuruh.

Dengan panggung megah yang didukung tata cahaya dan suara yang maksimal, Dream Theater membuka konsernya dengan sempurna. John Peter Petrucci langsung memamerkan kelincahan jari-jarinya di atas senar gitar. Penonton mulai melompat dan bersorak.

Setelah membawakan '6:00', sang vokalis James LaBrie sempat menyapa dan ngobrol-ngobrol sedikit soal senangnya ia akhirnya menginjakkan kaki di Indonesia, hingga keluhan soal macetnya Jakarta.

"Akhirnya kami di sini. Mungkin butuh waktu agak lama untuk bertemu kalian, jadi malam ini kita harus bersenang-senang," ujar James yang tampak santai dengan kaos hitam dibalut celana jeans.

'Build Me Up, Break Me Down' kemudian dimainkan, langsung disambut 'Surrounded' dan 'The Root of All Evil'. James juga memperkenalkan drummer baru mereka Mike Mangini yang menggantikan Mike Portnoy.

Mangini bukanlah drummer yang baru belasan tahun bergelut di dunia musik. Sejak tahun 1987 silam, ia sudah menjadi drummer pengiring berbagai macam band dan musisi seperti Steve Vai, Extreme, Tribe of Judah, dan masih banyak lagi.

Banyak penggemar yang bertanya-tanya, seperti apa sih permainan drum Mangini yang ditunjuk mengisi posisi yang ditinggalkan drummer sekaliber Mike Portnoy?

Semua seolah terjawab ketika sang penggebuk drum berusia 49 tahun itu memamerkan permainan solonya. Mangini duduk di set drum yang kerangkanya menyerupai kandang burung penuh simbal.

Mangini bisa menggebuk drumnya dengan tempo sangat cepat, diiring permainan pedal yang tak kalah keren. Untuk ukuran pemain drum yang usianya hampir setengah abad, stamina Mangini sangat luar biasa.

Bukan hanya Mangini dan John Peter Petrucci yang unjuk kebolehan masing-masing di atas panggung. Sang pembetot bass John Myung tak mau ketinggalan.

Belum lagi sentuhan Jordan Charles Rudes di atas keyboardnya yang kental dengan aliran progressive. Selain dengan keyboard, Jordan juga menggunakan iPad untuk menghasilkan instrumen musiknya.

Konser berlanjut dengan lagu 'A Fortune in Lies', 'Out Cry', 'The Silent Man', serta lagu 'Beneath The Surface' yang diambil dari album terbaru mereka 'A Dramatic Turn of Events'. Hampir semua penonton sing along di lagu yang paling ditunggu-tunggu, 'The Spirit Carries On'.

Dream Theater total membawakan sekitar 14 lagu yang ditutup 'Pull Me Under'. Wajah-wajah lelah namun puas pun terlihat di sebagian besar penonton.

LEDAKAN KONSER DI INDONESIA


Verdi, 35 tahun, kaget bukan kepalang saat mendengar berita dari situs RollingStone.co.id bahwa artis pujaan yang ia gandrungi sejak masa SMA puluhan tahun lalu hingga kini ia memiliki seorang putri yang masih bayi ternyata akan berkonser di Indonesia untuk pertama kalinya.

”Apa benar Morrissey akan datang ke Jakarta? Siapa promotornya? Berapa harga tiketnya? Kalau bisa jangan mahal-mahal dong, gue sudah punya anak nih, mesti beli susu bayi,” ujar Verdi sangat antusias saat menghubungi kantor majalah ini beberapa waktu lalu.

Ia mengaku belakangan jarang datang ke konser artis-artis internasional idolanya yang semakin gencar digelar di Jakarta. Alasannya sederhana saja, perbandingan antara gaji dengan kebutuhan rumah tangga membuat semuanya tidak masuk akal jika harus dituruti. ”Gue hanya bisa sedih menyaksikan beritanya di televisi setiap pagi. Band-band yang sebenarnya sudah puluhan tahun gue tunggu sekarang semuanya mendadak konser di Jakarta. Nggak mungkin ditonton semuanya. Sekarang nggak boleh egois, bisa gawat, bisa bubar rumah tangga,” imbuhnya dalam nada sedih tapi masih berusaha bercanda.

Zaman Verdi tumbuh remaja dan melewati masa-masa puber bersama musik-musik dari Morrissey, Napalm Death, Iron Maiden, Megadeth, Helloween, Sick of It All, menyaksikan semua konser artis tersebut adalah sebuah keniscayaan. Mengacu kepada Srimulat, itu adalah hil yang mustahal. Apa yang ia alami ini menjadi representasi jutaan anak muda era Orde Baru yang memang tidak seberuntung para penggemar band-band cadas
tersebut di negaranya.

Kerusuhan di luar stadion saat konser Metallica digelar oleh promotor AIRO pada 10 April 1993 silam yang membumihanguskan kawasan Lebak Bulus dan Pondok Indah akhirnya sukses merenggut mimpi para penggemar musik metal di Indonesia. Akhirnya sangat lama juga Indonesia absen dikunjungi band-band bertegangan tinggi. Di luar konser Bon Jovi pada 1995 atau Jakarta Pop Alternative Festival yang digelar Java Musikindo pada awal 1996 dan menampilkan Foo Fighters, Beastie Boys, Sonic Youth, hanya ada konser Green Day digelar di JHCC sepanjang 1996. Lalu Mr. Big sempat tampil di Bengkel Night Park, Jakarta, untuk kedua kalinya pada tahun 1997, tepat hanya beberapa bulan sebelum terjadinya krisis moneter berkepanjangan di Asia, termasuk di Indonesia.

Baru pada Juli 2001, Original Productions berani menggelar konser band pelopor speed thrash metal milik Dave Mustaine, Megadeth. Itu pun setelah digeser dari Jakarta hingga ribuan kilometer ke ujung Sumatera Utara, Medan, karena saat itu di ibukota terjadi pelengseran Presiden Abdurrahman Wahid oleh DPR RI.

Hanya berselang setahun sebelumnya segelintir anak-anak muda di Bandung secara diam-diam dan terbebas dari intaian imigrasi sudah mulai bergerilya dengan menggelar konser band metalcore asal Seattle, Washington, Himsa, di Buqiet Cafe. Mungkin konser ini tercatat sebagai yang pertama digelar promotor independen di Indonesia. Bahkan seusai konser Megadeth yang dilanjutkan dengan Scorpions di Bandung, tak banyak artis-artis internasional yang berkunjung ke Indonesia. Pascatragedi 9/11 di New York dan bom Bali 1, banyak artis asal Amerika Serikat yang menghindari tur konser di Indonesia karena adanya travel warning dari kedutaan AS.

Paceklik konser internasional pun berlanjut hinggga akhirnya Nepathya yang saat itu dikomandani oleh promotor senior Rini Noor di tahun 2004 menggelar konser Linkin Park di Pantai Karnaval, Ancol, yang dihadiri sekitar 30.000 orang penonton.

Baru pada 16 April 2005 sejarah dicatat oleh promotor independen Mipro yang berhasil memanggungkan pionir grindcore asal Inggris, Napalm Death, di Pantai Festival, Ancol, yang saat itu disaksikan lebih dari 7.000 penonton. Setelah konser yang terbilang sukses tersebut, bahkan menjadi salah satu yang terbesar sepanjang karier Napalm Death sendiri, keran konser di Indonesia mulai terbuka lebar-lebar.

Promotor-promotor baru mulai bermunculan bak cendawan di musim hujan. Soundshine Events, Berlian Entertain-ment, Ismaya Live, Marygops Studio, Mahaka Entertainment, Big Daddy Live Concerts, Mediaworks, Showmaxx, 3 Oceans Live, Blade Indonesia, Indika Productions, Mahkota Promotions, Variant Entertainment, StarD Pro, Maqnet Entertainment, Show Nation, FM Live, NuBuzz, hingga BlackRock Entertainment.
http://www.dreamtheater.net/